Ikut Peduli – Sengketa Suara (PEMILU 2019)
Usai KPU mengumungkan hasil
perhitungan suara Pilpres 17 April 2019 lalu, masyarakat pasti sudah tahu
mengenai apa yang terjadi di Petamburan, Slipi, Tanah Abang dan di depan Kantor
Bawaslu Jalan Thamrin Jakarta.
Wahai penduduk dunia, terutama
engkau yang masih berusia muda. Empat hari yang lalu, paska keramaian di depan
Jakarta, yang mana banyak cerita tersebar, dikatakan mengulang Mei ’98. Tapi
saya akan bercerita tentang siapa-siapa yang sebenarnya benar-benar peduli pada
negeri.
Saya pun merasa, masih tidak
sepenuhnya peduli apalagi cinta pada Tanah Air Indonesia. Rumah saya bukanlah
rumah mewah, kota saya bukanlah kota yang megah. Tapi dua ruang ini secara
hebat member saya banyak pelajaran tentang bagaimana hakekat hidup yang
sebenarnya.
Ia adalah seorang tukang becak,
biasa. Setiap hari ia mengantar pelanggan, seorang murid SD di salah satu
sekolah swasta khusus bagi para penganut agama Kristen keturunan Cina (maaf
bukan bermaksud rasis, hanya memberi gambaran). Sekilas bertemu bukan hal
istimewa.
Ia adalah murid ayah saya semasa
SMA di sekolah swasta Islam, memang tidak begitu tenar nama sekolahnya kala itu
sampai sekarang. Namun, ia sangat berbeda. Pindah sekolah di tingkat kedua SMA,
kemudian ia menjadi yang pertama di kelas, sebagai ahli matematika. Maka,
penduduk dunia perlu tahu bahwa, kecerdasan seseorang tidak harus disamakan
dengan kekayaan atau kekuasaan. Lihatlah bagiaman ia memandang kehidupan.
Usai lulus SMA ia mencari studi
Perguruan Tinggi, namun nasib berkata lain, ia harus bekerja dan kemudian
menikah dengan seorang janda beranak satu. Anak itu adalah yang kemudian
menjadi harta pembelajaran bagi hari-harinya. Anak perempuan yang ia dapat
sebagai hadiah bonus setelah menikahi istrinya, di usia sekolah menengah
pertama tak lantas mau mengakui si tukangt becak ini sebagai bapaknya. Bahkan
ia seringkali berkata tak sudi menjadi anak tirinya.
Hidup tak selalu membawa senyuman
tapi akan menyenangkan jika hatimu kau tata untuk selalu bahagia. Seperti
tukang becak ini. Setiap kali Ramadhan dan Idul Fitri ia past sempatkan datang
ke rumah kami, bercerita, duduk cukup lama, untuk tahu tentang ini dan itu.
Saya ingin secara khusus
mengatakan bahwa bapak tukang becak ini adalah kehebatan anak Bangsa. Pada empat
hari yang lalu ia bertama pada ayahku, ia bertanya mengenai apa yang sebenarnya
terjadi di Kota Jakarta. Siapa pelaku, siapa korban meninggal, bagaimana
tanggapan negara, lalu apa penyebab sebenarnya. Cukup tergores hati saya
mendengar setiap pertanyaan yang ia ajukan.
Gaji yang tak selalu sama setiap
hari. Makan siang yang tak pasti ada lauk dan sayurnya. Ia yang hidup begitu
sederhana, bahkan mungkin masih tak terakui identitas kebapakannya. Ia yang
duduk dijalan menunggu penumpang. Mengayuh becak kesana kemari mengantar dan
menjemput pelanggan pulang.
Penduduk dunia, apakah kalian
tahu apa yang terjadi pada Mei 2019 lalu. Apakah kalian bertanya siapa dan
mengapa itu terjadi? Apakah kalian ikut mengayuh sepeda bergegas mencari
kebenaran untuk tahu kemana arah Bangsa ini akan pergi? Sempatkah kalian
menutup mata dari televise, menutup telinga dari radio, dan berlari pada
objektifitas yang ingin kalian temukan?
Saya teringat pada tanggal 16 Mei
ia pernah menelepon ayah saya dan bertanya, apakah benar aka nada aksi di
Jakarta dan kota-kota besar lain? Tak ku sangka ia tahu lebih dahulu. Ku dengar
dari ayahku, ia adalah kawan dekat dari seorang penjual koran (seorang tuna
wicara) yang ayahku pun sebagai pelanggan setianya.
Inilah yang disebut dengan pahlawan
sesungguhnya. Ia tak perlu jabatan tinggi, gaji yang besar, rumah yang mewah,
kuasa serta kehormatan manusia. Ia hanya tahu bagaimana dirinya bisa menjadi
manusia yang berguna, bagaimana waktu hidupnya menjadi berharga.
Ia adalah Pak Pras. Pengayuh becak
beroda tiga. Seorang Pahlawan dari Indonesia yang tak dikenali oleh negara,
namun tak pernah mengeluh atas nasib pada negaranya.
Comments